Suara dari Garis Pantai: "Matra Pantura" EIGER Films Suarakan Perjuangan Masyarakat Pesisir
![]() |
Film dokumenter besutan EIGER dlam rangka peduli alam |
jabat.suarana / Subang - EIGER Films secara resmi merilis film dokumenter terbarunya, "Matra Pantura: Dialog Perubahan Iklim di Batas Pesisir," sebuah karya sinematik yang menggugah kesadaran akan kondisi memprihatinkan masyarakat pesisir di Pulau Jawa akibat dampak abrasi.
Film ini menyoroti perjuangan dan harapan para penduduk yang hidup di garis depan perubahan iklim, khususnya di Desa Mayangan, Kecamatan Legonkulon, Subang, Jawa Barat.
Film yang disutradarai oleh Athory Malik ini membuka tirai dengan gambaran nyata Desa Mayangan, sebuah desa yang sejak tahun 2002 hingga 2024 telah mengalami perubahan drastis.
Selama kurun waktu tersebut, garis pantai Desa Mayangan tercatat mengalami kemunduran sejauh 1,4 kilometer, menelan daratan dan mengubah lanskap kehidupan masyarakatnya.
Salah satu tokoh sentral dalam film ini adalah Abah "Ncay" Carwita, seorang warga Desa Mayangan yang telah melaut sejak kelas 3 SD.
![]() |
Beberapa scene dalam film dokumenter |
Dengan suara bergetar namun penuh ketabahan, Abah Ncay menceritakan pengalaman pahitnya menghadapi terjangan banjir rob.
"Semakin sore banjir semakin besar menggenangi Desa Mayangan, motor-motor yang ada di desa tersebut sudah pasti terendam," tuturnya di awal film, ia menambahkan, saat musim barat memang tidak bisa diprediksi, namun biasanya ombaknya besar.
Abah Ncay mengenang masa lalu di mana lautan masih luas dan ikan melimpah, "Sekarang kali ada di mana-mana, bahkan saat ini bukan kali tapi laut," ujarnya prihatin.
Ia bercerita bagaimana dulu ia bisa dengan mudah mencari ikan hingga ke Indramayu karena banyaknya ikan dan luasnya pesisir.
Keberadaan tambak dan hutan mangrove di sebelah timur kala itu menjadi berkah tersendiri, "Dulu di hutan mangrove banyak ikan kakap putih, kalau tidak ada mangrove, ikannya kosong," kata Abah Ncay, menekankan betapa vitalnya peran akar tunjang mangrove dalam melindungi ikan, kepiting, dan hewan laut lainnya, yang secara tidak langsung turut membantu kehidupan masyarakat kecil.
Ancaman abrasi tidak hanya merusak mata pencaharian, tetapi juga mengancam keselamatan, Abah Ncay mengungkapkan betapa sulitnya menghadapi banjir rob di malam hari.
"Kalau sore banjir kita bisa kabur, tapi kalau banjir tengah malam kita mau kabur ke mana," ujarnya, disusul tawa getir, "Maunya kita bisa seperti burung, terbang saat ada banjir."
Ia juga menyebutkan, abrasi di Desa Mayangan semakin parah pasca-Tsunami Aceh pada tahun 2004, yang menyebabkan tambak hilang dan pohon mangrove hampir punah.
Meski Desa Mayangan berdekatan dengan Pertamina Jawa I dengan kedalaman air laut 12,5 meter, aksesibilitas ke beberapa lokasi telah berubah drastis.
"Dahulu ke pulau burung mobil bisa lewat, saat ini jalan menuju ke sana sudah terendam air laut maka harus naik perahu," kenang Abah Ncay.
Di akhir kisahnya, ia menyematkan harapan besar agar ada generasi penerus yang dapat menjaga lingkungan, "Saya harap pohon mangrove yang tua berkembang semua."
Kolaborasi dan Harapan dari Siput Leader Wanadri
Film ini juga menampilkan upaya kolaborasi antara masyarakat lokal dan organisasi lingkungan, Dadan Sulaeman, dari Siput Leader Wanadri, didampingi Tomi Subaroh, Siput Vice Leader, mengungkapkan bagaimana Abah Ncay merangkul anak-anak muda untuk bekerja sama dengan Wanadri dalam upaya penghijauan kembali Desa Mayangan yang terabrasi.
![]() |
Gambar kondisi sungai di Mantra Pantura |
"Sejak kecil kami sudah sering main ke hutan sambil mencari ikan untuk kita bakar dan kita makan bersama," kenang Dadan Sulaeman dan Tomi Subaroh.
Mereka menegaskan komitmen mereka terhadap lingkungan, "Desa Mayangan memang kecil, tapi banyak memori yang terpendam, namun sekarang Desa ini sudah terkena abrasi oleh air laut," tambah Dadan Sulaeman. *jabar.suarana / IST